.

.
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء و المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين أهلا وسهلا بكم إذا كانت هذه زيارتك الأولى للمنتدى، فيرجى التفضل بزيارة صفحة التعليمات كما يشرفنا أن تقوم بالتسجيل ، إذا رغبت بالمشاركة في المنتدى، أما إذا رغبت بقراءة المواضيع والإطلاع فتفضل بزيارة القسم الذي ترغب أدناه. عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه - قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: "إن إبليس قال لربه: بعزتك وجلالك لا أبرح أغوي بني آدم مادامت الأرواح فيهم - فقال الله: فبعزتي وجلالي لا أبرح أغفر لهم ما استغفروني" اللّهم طهّر لساني من الكذب ، وقلبي من النفاق ، وعملي من الرياء ، وبصري من الخيانة ,, فإنّك تعلم خائنة الأعين ,, وما تخفي الصدور اللهم استَخدِمني ولاَ تستَبدِلني، وانفَع بيِ، واجعَل عَملي خَالصاً لِوجهك الكَريم ... يا الله اللهــم اجعل عملي على تمبـلر صالحاً,, واجعله لوجهك خالصاً,, ولا تجعل لأحد فيه شيئاً ,, وتقبل مني واجعله نورا لي في قبري,, وحسن خاتمة لي عند مماتي ,, ونجاةً من النار ومغفرةً من كل ذنب يارب يارب يارب

.

.

.

.

Wednesday, May 13, 2015

ULUMUL QURAN : Terjemah Mabahis Fi Ulumil Quran

Hampir semua ilmu mengawali materinya dengan mendifinisikan sesuatu yang menjadi objek bahasan dari
ilmu tersebut. Demikian pula dengan Ulumulquran, karena yang menjadi pokok masalah dari ilmu ini adalah alqur'an, maka mari kita lihat apa dan bagaimana proses para ulama mendifinisikan Alqur'an.
Kata Qur'an pada mulanya diambil dari akar kata qara'a, qira'atan, qur'anan. Misalnya seperti dalam firman Allah SWT : (Al‐Qiyamah [75] : 17 ‐ 18), 
"Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu."
Dalam struktur bahasa Arab kata Qur'an adalah masdar (infinitif) menurut wazan (tasrif, konjugasi, atau pola) "Fu'lan"
Memang dalam berbagai ayatnya Allah menyebut Kitab Suci Umat Islam ini dengan sebutan Qur'an misalnya dalam (Al A'raf [7] : 204), 
"Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik‐baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat"
Banyak sekali difinisi yang yang dibuat para Ulama, tentu saja berbagai macamnya, tidak ada yang persis sama. Disini hanya akan disampaikan yang paling pas dan sesuai dalam pandangan Manna Khalil al‐Qattan (Mabahis Fi Ulumil Quran), yang mana bersumber dari bukunyalah materi ini ditulis. Yang paling mudah memang mendifinisikan Alqur'an secara kongkrit, misalnya : "Alquran adalah bismillahir rahmaanir rahim, alhamdulillahi rabbil alamin sampai dengan minal jinnatii wannas." namun untuk lebih mendekati maknanya dan agar benar‐benar terbedakan dengan yang lainnya maka para ulama mendifinisikan Alqur'an dengan :
"Qur'an adalah Kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Muhammad S.A.w. yang membacanya merupakan suatu ibadah"
Dalam difinisi tersebut, "Kalam" atau kata merupakan statement yang meliputi segala kalam, namun dengan menghubungkannya kepada "Allah" maka "Kalamullah" menunjuk secara tegas dan spesifik, jadi tidak termasuk kalam (kata) manusia, jin dan malaikat. 
Dengan memakai kata "yang diturunkan" maka tidak termasuk Kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik‐Nya, seperti yang terungkap dalam firman‐Nya : (Al‐Kahfi [18] : 109)
"Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat‐kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat‐kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)" atau (Luqman [31] : 27)
"Dan seandainya pohon‐pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis‐habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Dengan membatasi apa yang diturunkan itu hanya "kepada Muhammad S.A.W. maka tidak termasuk yang diturunkan kepada Nabi‐Nabi sebelumnya seperti Taurat, Injil dan yang lainnya. 
Dan dengan dikatakan "yang membacanya merupakan suatu ibadah" maka terbedakanlah ketika kita membaca hadits ahad maupun hadits kudsi, sebab membacakan hadits tidaklah sama dengan membaca Qur'an.
Selain disebut dengan Qurán, Kalamullah ini disebut juga dengan Alkitab atau Kitab Allah (QS.2:2 dan QS.6:114), Al‐Furqan yang berarti pembeda antara yang benar dan yang batil (QS.25:i), Az‐Zikr yang berarti peringatan (QS.15:9), dan At‐Tanzil yang berarti diturunkan (QS.26:192). Hanya saja penamaan Alquran dan Alkitab lebih populer dari nama‐nama yang lainnya.
Allah SWT dalam berbagai ayatnya juga menyebut alquran dengan berbagai sifatnya, berikut rinciannya : 
Nur (cahaya) (QS An‐Nisa’[4]; 174) “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).”
Huda (petunjuk), Syifa’(obat), Rahmah (rahmat), dan Mauízah (nasihat) (Qs Yunus [10];57) “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari Tuhanmu dan obat bagi penyakitpenyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang‐orang yang beriman.”
Mubin (yang menerangkan) (QS Al‐Maídah [5];15) “Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan”.
Mubarak (yang diberkati) (QS Al‐AnÁm [6];92) ”dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab‐Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang‐orang yang di luar lingkungannya. orang‐orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.”
Busyra’’(kabar gembira) (QS Al‐Baqarah [2];97) “Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab‐kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang‐orang yang beriman.” 
Aziz (yang mulia) (QS Fussilat [41];41) “Sesungguhnya orang‐orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia.”
Majid (yang dihormati) (QS Al‐Buruj [85];21) “bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia”
Basyir (pembawa kabar gembira), dan Nazir (pembawa peringatan) (QS Fussilat [41];3‐4) “kitab yang dijelaskan ayat‐ayatnya, Yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan.”
Bukalah Alquran dan dapati ayat‐ayat tersebut diatas renungkan dan resapi Insya Allah kita akan dapati banyak nasehat, obat, penyejuk jiwa, berita gembira, kemuliaan, pengingat dan jutaan kebaikan lainnya. Dan mari kita mulai jalin hubungan yang indah dengan Alquran sebab ia adalah surat dari Tuhan kita untuk kita.
Hakikat Wahyu.
Semakin lama manusia semakin cerdas. diiringi pesatnya teknologi, perkembangan ilmu, kemampuan mengeskplorasi bumi, laut dan langit. Semuanya itu membantu menyapu keraguan manusia akan hakikat wahyu. Bagi manusia yang berpikir, eksistensi dunia gaib tak ubahnya dunia nyata. bedanya eksplorasi dan pemahaman kita akan dunia gaib ini begitu lambatnya dibanding dengan yang telah kita capai pada dimensi nyata.
Hipnotis kini adalah hal lumrah, yang mana orang berkemauan lebih kuat dapat memaksakan kemauannya kepada orang yang lebih lemah, hingga si lemah tertidur dan ia dikemudikan secara mudahnya oleh kehendak orang yang menghipnotisnya. ini terjadi antara manusia, nah bayangkan begitu mudahnya hal serupa terjadi antara Tuhan dengan mahluknya.
Telepon, televisi dan segala jenis alat komunikasi menjadi terealisir dengan pemahaman manusia akan gelombang eter, frekwensi, satelit dsb. Komunikasi dua orang yang terpisah laut dan gunung dapat berjalan sedemikan lancarnya. apabila fakta ini menjadi biasa, maka komunikasi antara Tuhan dan Nabinya jadi mudah dicerna dan diakui adanya.
Rasulullah SAW bukanlah manusia pertama yang mendapatkan wahyu, Allah telah melakukan hal serupa kepada Rasul‐rasul sebelum beliau SAW, firmannya ; "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi‐nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud. dan (kami telah mengutus) Rasul‐rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul‐rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung"QS An‐Nisa' [4] ; 163‐164
Al‐Wahyu adalah kata dalam bahasa arab yang artinya tersembunyi dan cepat. atas dasar ini para ulama secara bahasa mendifinisikan wahyu sebagai " Apa yang dibisikkan ke dalam sukma, yang diilhamkan, dan merupakan isyarat yang cepat yang lebih mirip pada sesuatu yang dirahasiakan daripada dilahirkan; sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah SWT ke dalam dada para nabi‐Nya. Wahyu merupakan kebenaran yang langsung disampaikan Allah SWT kepada para nabiNya.”
Allah SWT telah menerangkan dalam Alquran cara memberitahukan para nabi‐Nya mengenai apa yang dikehendaki‐Nya, dengan firman‐Nya: “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata‐kata dengan dia kecuali dengan perantaraan Wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan se‐izin‐Nya apa yang Dia kehendaki...” (QS.42:51). Dari kandungan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah SWT menurunkan wahyu‐Nya kepada nabi dan rasul dengan tiga cara :
Allah SWT memberi pengetahuan dengan tidak memakai perantaraan. Pengetahuan itu tiba‐tiba dirasakan seseorang dan timbul dalam dirinya secara tiba‐tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Mimpi nabi yang benar (sadiqah) termasuk dalam bagian ini. wahyu serupa ini telah diterima Nabi Ibrahim AS, yaitu tentang perintah Allah SWT untuk menyembelih anaknya, Ismail AS. Hal ini juga terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW di masa permulaan turunnya wahyu. 
Memperdengarkan suara dari belakang tabir dan nabi mendengar wahyu dari belakang tabir itu. Hal ini diperoleh Nabi Musa AS di Bukit Tursina (Gunung Sina) dan Nabi Muhammad SAW ketika melakukan isra mikraj.
Mengutus Malaikat Jibril (sebagai pembawa wahyu), yang disebut dalam Alquran sebagai ar‐Ruh al‐
Amin atau Rohul Kudus. Dalam surah asy‐Syu’ara ayat 192‐195 Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya Alquranini benar‐benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh ar‐Ruh al‐Amin (Jibril); ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang‐orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” Malaikat Jibril kadangkala mendatangi Muhammad SAW dengan menyerupai seorang laki‐laki yang tampan. Di saat lain Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang asli, yang memiliki enam ratus sayap.
Tak ragu lagi Alquran memang menjadi fokus perhatian para Sahabat, Tabiin dan generasi sesudahnya. Ini terbukti dari hasil penelitian mereka berkenaan dengan Alquran. Hasil kajian mereka memang menjadi pilar‐pilar penting yang jadi acuan kaum muslimin yang peduli terhadap interaksi dengan Alquran karena kesadaran bahwa kalam Allah adalah cahaya benderang petunjuk dan penuntun jalan kehidupan ini.
Makki dan Madani
Materi kali ini membahas secara ringkas tentang ”Makki dan Madani”, istilah teknis ini berarti : “ayat‐ayat yang turun di Makkah dan sekitarnya (Makki). Dan ayat‐ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya (Madani).”
Manfaat mengetahui Makki dan Madani sangat banyak, diantara yang terpenting adalah :
Sebagai alat bantu dalam menafsirkan Qur'an, pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar.
Dua jenis ayat dan atau surat Maki dan Madani ini memiliki karakter penyampaian yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tempat turunnya. Kita dapat meresapi gaya bahasa Qur'an tersebut dan memanfaatkannya di medan dakwah, ini merupakan manfaat yang khusus dalam ilmu retorika.
Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat‐ayat Qur'an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode Mekah maupun periode Medinah, sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur'an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah. Peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Qur'an; dan Qur'an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.
Para Ulama mengetahui dan menentukan Makki dan Madani dengan dua cara, cara pertama didasari pada riwayat sahih para sahabat yang hidup pada saat itu dan menyaksikan turunnya wahyu; atau dari para tabi'in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, di mana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan pada cara ini. Yang kedua para Ulama menentukan dengan Kias
Ijtihadi mereka (keputusan yang dibuat dengan pertimbangan yang matang).
Berkenaan Makki dan Madani ini para ulama membicarakan tentang banyak hal, yang terpenting adalah sebagai berikut ; surat yang diturunkan di Makkah dan surat‐surat yang diturunkan di Madinah, surat dan ayat‐ayat yang diperselisihkan, ayat‐ayat Makkiah dalam surat‐surat Madaniah dan ayat‐ayat Madani dalam surat‐surat Makkiah.
Pendapat yang paling populer dan tentang bilangan surat‐surat Makkiah dan Madaniyah ialah bahwa Madaniah ada dua puluh surah: 1) al‐Baqarah; 2) Ali 'Imran; 3) an‐Nisa; 4) al‐Ma'idah; 5) al‐Anfal; 6) at‐Taubah; 7) an‐Nur; 8) al‐Ahzab; 9) Muhammad; 10) al‐Fath; 11) al‐Hujurat; 12) al‐Hadid; 13) alMujadalah; 14) al‐Hasyr; 15) al‐Mumtahanah; 16) al‐Jumu'ah; 17) al‐Munafiqun; 18) at‐Talaq ; 19) atTahrim; da 20) an‐Nasr.
Yang diperselisihkan ada dua belas surah; 1) al‐Fatihah; 2) ar‐Ra'd; 3) ar‐Rahman; 4) as‐Saff; 5) atTagabun; 6) at‐Tatfif; 7) al‐Qadar; 8) al‐Bayyinah; 9) az‐Zalzalah; 10) al‐Ikhlas; 11) al‐Falaq; dan 12) an‐Nas.
Selain yang tersebut diatas adalah Makkiah.
Dengan menamakan sebuah surah itu Makkiah atau Madaniah tidak berarti bahwa surah tersebut seluruhnya Makkiah atau Madaniah, sebab di dalam surah Makkiah terkadang terdapat ayat‐ayat Madaniah, dan di dalam surah Madaniah pun terkadang terdapat ayat‐ayat Makkiah. Dengan demikian, penamaan surah itu Makkiah atau Madaniah adalah menurut sebagian besar ayat‐ayat yang terkandung di dalamnya. Karena itu, dalam penamaan surah sering disebutkan bahwa surah itu Mak‐kiah kecuali ayat "anu" adalah Madaniah; dan surah ini Madaniah kecuali ayat "anu" adalah Makkiah. misalnya surah al‐Anfal itu Madaniah, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat 30 yang dianggap sebagai ayat Makiah.
Ciri‐ciri Khas Makki dan Madani.
Para ulama telah meneliti surah‐surah Makki dan Madani; dan menerangkan ciri‐ciri khasnya sbb :
Ketentuan Makki dan Ciri Khas Temanya
       Setiap surah yang di dalamnya mengandung "sajdah" maka surah itu Makki. 
       Setiap surah yang mengandung lafal kalla, berarti Makki.Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur'an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah. 
       Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti Makki, kecuali Surah al‐Hajj yang pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur‐ka'u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki. 
       Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali surah Baqarah. 

       Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surah Baqarah.  Setiap surah yang dibuka dengan huruf‐huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain‐lainnya, adalah Makki, kecuali surah Baqarah dan Ali 'Imran. Sedang surah Ra'd masih diperselisihkan. 
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut :
Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan had pembalasan, had kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmat‐nya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti‐bukti rasional dan ayat‐ayat kauniah.
Peletakan dasar‐dasar umum bagi perundang‐undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup‐hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
Menyebutkan kisah para nabi dan umat‐umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
Suku katanya pendek‐pendek disertai kata‐kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal‐Iafal sumpah; seperti surah‐surah yang pendek‐pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.
Ketentuan Madani dan Ciri Khas Temanya
       Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
       Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang‐orang munafik adalah Madani, kecuali surah al‐'Ankabut adalah Makki.
       Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri khas tema dan gaya bahasa dapat diringkaskan sebagai berikut:
Menjelaskan tentang bab ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang‐undangan. 
Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab‐kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama. 
Suku kata dan ayatnya panjang‐panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya. 
Pengetahuan mengenai yang turun pertama dan terakhir
Satu bukti lagi betapa kitab suci (Alquran) itu menjadi pusat perhatian dan kajian utama dari agama ini ialah adanya pembahasan mengenai yang turun pertama dan yang terakhir. Bahasan ini meliputi tentang ayat yang pertama kali diturunkan dan yang terakhir diturunkan dan ayat yang pertama kali diturunkan menurut persoalannya, misalnya ; ayat Alquran yang turun pertama kali tentang makanan, tentang peperangan, hukum dsb.
Pembahasan ini bermanfaat dalam banyak hal, terutama dalam kajian siroh (sejarah) dan Hukum. Dengan mengetahui urut‐urutan turunnya ayat, sejarawan dapat dengan mudah mengetahui banyak hal yang berkenaan dengan sejarah, misalnya ; kondisi psikologis kaum muslimin yang berbeda di era makkah dan di era madinah atau fase dakwah sembunyi‐sembunyi , dan terang‐terangan dapat tergambar dan dikonfirmasi oleh urutan turunnya ayat dan gaya pembicaraan serta seluk beluk retorikannya.
Manfaatnya dari sisi hukum dapat diketahui misalnya dari pengharaman Khamar. Pelarangan khamar melalui tiga tahap (tidak langsung diharamkan) dapat diketahui dengan mudah melalui urutan ayat‐ayat yang bicara tentang khamar. 
Ayat yang pertama adalah Al Baqarah ; 219 "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.'" 
Kemudian turun Surah an‐Nisa': 43"Wahai orang‐orang yang beriman, janganlah kamu melakukan salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, supaya kamu mengerti apa yang kamu ucapkan."
Berikutnya turun satu ayat dalam Surah al‐Ma'idah: 90‐91 “Hai orang‐orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan‐perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” 
Dari Ibn Umar; dia berkata: "Telah diturunkan tiga ayat mengenai khamar. Yang pertama Mereka bertanya kepadamu tentang khamar... Dikatakan kepada mereka: Khamar itu diharamkan. Maka mereka bertanya: 'Wahai Rasulullah, biarkan kami memanfaatkannya seperti dikatakan Allah.' Rasulullah diam. Lalu turun ayat ini Janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk. Maka dikatakan kepada mereka bahwa khamar itu diharamkan. Tetapi mereka berkata: 'Wahai Rasulullah, kami tidak akan meminumnya menjelang waktu salat.' Maka Rasulullah pun diam pula. Lalu turunlah ayat ini Wahai orang‐orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar dan berjudi, maka kata
Rasulullah kepada mereka: 'Khamar sudah diharamkan.
Asbabun Nuzul
Tidak sedikit ayat‐ayat Alquran yang turun untuk menjawab atau menjelaskan sesuatu hal yang jadi pertanyaan para sahabat. atau mengkomentari maupun merespon suatu peristiwa yang khusus. Pertanyaan ataupun peristiwa khusus inilah yang dinamakan Asbabun Nuzul, yaitu sebab dari turunnya suatu ayat.
Faedah mengetahui Asbabun Nuzul
       Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum, juga sebagai bukti perhatian dan kasih sayang Allah terhadap manusia.
       Dengan mengetahui asbabun nuzul kita dapat mengetahui maksud hukum yang sebenarnya.
       Memudahkan penafsiran suatu ayat.
Mungkin beberapa contoh dibawah akan lebih memudahkan pemahaman :
"Janganlah sekali‐kali kamu menyangka bahwa orang‐orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka untuk dipuji dengan perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa; dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali 'Imran [3]: 188). Tentang ayat ini diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya: "Pergilah, hai Rafi', kepada Ibn Abbas dan katakan kepadanya: Sekiranya setiap orang di antara kita yang bergembira dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakannya itu akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa." Ibn Abbas menjawab: "Mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan Ahli Kitab." Kemudian ia membaca ayat: Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang‐orang yang telah diberi Kitab... (Ali 'Imran [3]: 187)." Kata Ibn Abbas: "Rasulullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, me‐reka menyembunyikannya, lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi, dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada Rasulullah apa yang ditanyakannya kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu."
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: 'Haid adalah suatu kotoran. ' Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang‐orang yang bertobat dan menyukai orang‐orang yang menyucikan diri." (al‐Baqarah [2]:222). Suatu ketika sahabat Anas berkata: "Bila istri orang‐orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama‐sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan ayat tersebut. Kemudian kata Rasulullah: "Bersamasamalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya."
Turunnya Alquran
Turunnya Qur'an merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah manusia. Quran diturunkan pertama kali pada malam lailatul qadar. Bagaimanakah proses turunnya Alquran secaran detail ? Turunnya Alquran dibagi dalam dua tahap, yaitu turunnya secara sekaligus dan turunnya secara berangsurangsur.

Turunnya Alquran secara sekaligus.
Alquran diturunkan pertama kali ke Baitul Izzah ‘secara sekaligus agar para malaikat menghormati kebesarannya. Inilah maksud 3 Firman Allah berikut :
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan‐penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil.”(QS Al‐
Baqarah;185)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.”(QS AL‐Qadr;1) 
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.”(QS Ad‐Dukhan;3)
Ketiga ayat di atas itu tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan Ramadan. Tetapi lahir (zahir) ayat‐ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah, di mana Qur'an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun. Karena itulah para Ulama berpendapat bahwa Alquran turun dalam dua tahap, pertama; secara sekaligus kedua ; secara berangsur‐angsur selama 23 tahun. Seperti kata Ibnu Abbas berikut, tentang ini beliau mengucapkan perkataan serupa dalam tiga kesempatan berbeda, katanya : 
“Qur'an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Kemudian setelah itu, ia diturunkan selama dua puluh tahun." Pada kesempatan lain beliau juga berkata ; 
"Qur'an itu dipisahkan dari az‐Zikr, lalu diletakkan di Baitul 'Izza di langit dunia. Maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi s.a.w." 
"Allah menurunkan Qur'an sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya secara berangsur‐angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada Rasul‐Nya s.a.w. bagian demi bagian."
Turunnya Alquran secara berangsur‐angsur.
“dan Sesungguhnya Al Quran ini benar‐benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar‐Ruh Al‐Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang‐orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS AsySyu’ara’;192‐195)
“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang‐orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang‐orang yang berserah diri (kepada Allah)." ” (QS An‐Nahl;102)
“kitab (ini) diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al‐Jasiyah)
“dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orang‐orang yang benar.”(QS Al‐Baqarah;23)
“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab‐kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang‐orang yang beriman.”(QS Al‐Baqarah;97)
Ayat‐ayat di atas menyatakan bahwa al‐Qur'anul Karim adalah kalam Allah dengan lafalnya yang berbahasa Arab; dan bahwa Jibril telah menurunkannya ke dalam hati Rasulullah s.a.w.; dan bahwa turunnya ini bukanlah turunnya yang pertama kali ke langit dunia. Tetapi yang dimaksudkan adalah turunnya Qur'an secara bertahap. Ungkapan (untuk arti menurunkan) dalam ayat‐ayat di atas menggunakan kata tanzil bukannya inzal. Ini menunjukkan bahwa turunnya itu secara bertahap dan berangsur‐angsur. Ulama bahasa membedakan antara inzal dengan tanzil. Tanzil berarti turun secara berangsur‐angsur sedang inzal hanya menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.
Qur'an turun secara berangsur‐angsur selama dua puluh tiga tahun: tiga belas tahun di Mekah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di Medinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur itu terdapat dalam firman Allah:
“dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur‐angsur agar kamu membacakannya perlahan‐lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS Al‐Isra;106)
Hikmah Turunnya Quran secara bertahap.
Banyak sekali hikmah dari turunnya Alquran secara bertahap, disini akan disampaikan yang terpenting saja :
Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW mendapatkan tantangan dan perlawanan yang luar biasa dari manusia‐manusia yang jahil dan pembangkang, tak jarang Rasul SAW mendapat perlakuan yang sangat kasar, melukai hati dan bahkan fisik. Padahal Rasulullah SAW berhati tulus menghendaki kebaikan atas diri mereka. Pada titik tertentu Rasulullah SAW membutuhkan hiburan, kekuatan dan semangat untuk tetap dijalan dakwah walaupun betapa sulitnya keadaan yang beliau hadapi. Pada moment‐moment ini Quran turun dengan ayat‐ayat yang menyejukkan hati Rasul SAW, menenangkan, memompa semangat. 
Dapat disimak contoh ayat yang dimaksud ; “Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang‐orang yang zalim itu mengingkari ayatayat Allah. dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul‐rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat‐kalimat (janjijanji) Allah. dan Sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita Rasul‐rasul itu.” (QS Al‐Anám;33‐34) 
Masih banyak ayat‐ayat yang berfungsi untuk menghibur, menguatkan dan meneguhkan hati Rasul SAW dengan mengancam mereka yang membangkang atau menjanjikan kemenangan dan memberitahu bahwa kemenangan itu sudah dekat dsb.
Sebagai Tantangan dan Mukzizat.
Orang‐orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan dan kesombongan hingga melampaui batas. Mereka sering mengajukan pertanyaan‐pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menantang, untuk menguji kenabian Rasulullah. Mereka juga sering menyampaikan kepadanya halhal batil yang tak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat. (al‐A'raf [7]:187), dan minta disegerakannya azab: Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan. (al‐Hajj [22]:47). 
Maka turunlah Qur'an dengan ayat yang menjelaskan kepada mereka segi kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan mereka, misalnya firman Allah: "Dan tidaklah orang‐orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. " (QS Al‐Furqan :33).
Maksud ayat tersebut ialah "Setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan yang aneh‐aneh dari sekian pertanyaan yang sia‐sia, Kami datangkan kepadamu jawaban yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya daripada pertanyaan‐pertanyaan yang hanya merupakan contoh kesiasiaan saja." Di saat mereka keheranan terhadap turunnya Qur'an secara ber‐angsur‐angsur, maka Allah menjelaskan kepada mereka kebenaran hal itu; sebab tantangan kepada mereka dengan Qur'an yang diturunkan secara berangsur sedang mereka tidak sanggup untuk membuat yang serupa dengannya, akan lebih memperlihatkan kemukjizatannya dan lebih efektif pembuktiannya daripada kalau Qur'an diturunkan sekaligus lalu mereka diminta membuat yang serupa dengannya itu. Oleh sebab itu, ayat di atas datang sesudah pertanyaan mereka, Mengapa Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Maksudnya ialah: Setiap mereka datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil yang mereka minta seperti turunnya Qur'an sekaligus, Kami berikan kepadamu apa yang menurut kebijaksanaan Kami membenarkanmu dan apa yang lebih jelas maknanya dalam melemahkan mereka, yaitu dengan turunnya Qur'an secara berangsur‐angsur.
Mempermudah Hafalan dan pemahamannya.
Alquran turun dimasyarakat yang kebanyakan buta huruf, dengan turunnya secara bertahap ini memudahkan mereka untuk menghapal. Dan sesuatu pelajaran jelas akan lebih mudah dipahami secara menyeluruh apabila diberikan sedikit demi sedikit. Maka turunnya Quran secara bertahap dan berangsur‐angsur ini sangat membantu Nabi dan para sahabat dalam proses penghapalan dan pemahamannya.
Kesesuaian dengan peristiwa dan pentahapan dalam penetapan hukum.
Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang baru ini seandainya Qur'an tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana dan memberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa di antara mereka, maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang memberikan kejelasan statusnya dan petunjuk serta meletakkan dasar‐dasar perundang‐undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara demikian ini menjadi obat bagi hati mereka.
Pada mulanya, Qur'an meletakkan dasar‐dasar keimanan kepada Allah, malaikat‐malaikat‐Nya, kitab‐kitab‐Nya, rasul‐rasul‐Nya dan hari kiamat serta apa yang ada pada hari kiamat itu seperti kebangkitan, hisab, balasan, surga dan neraka. Untuk itu, Qur'an menegakkan bukti‐bukti dan alasan sehingga kepercayaan kepada berhala tercabut dari jiwa orang‐orang musyrik dan tumbuh sebagai gantinya akidah Islam.
Setelah itu Qur'an mengajarkan akhlak mulia yang dapat membersihkan jiwa dan meluruskan kebengkokannya dan mencegah perbuatan yang keji dan mungkar, sehingga dapat terkikir habis akar kejahatan dan keburukan. la menjelaskan kaidah‐kaidah halal dan haram yang menjadi dasar agama dan menancapkan tiang‐tiangnya dalam hal makanan, minuman, harta benda, kehormatan dan nyawa.
Kemudian penetapan hukum bagi umat ini meningkat kepada penanganan penyakit‐penyakit sosial yang sudah mendarah daging dalam jiwa mereka sesudah digariskan kepada mereka kewajibankewajiban agama dan rukun‐rukun Islam yang menjadikan hati mereka penuh dengan iman, ikhlas kepada Allah dan hanya menyembah kepada‐Nya serta tidak mempersekutukan‐Nya. Dengan turun secara bertahap dan berangsur‐angsur seperti ini proses pembentukan masyarakat muslim dapat lebih mudah terealisir.
Sebagai bukti yang kuat bahwa Alquran diturunkan dari sisi yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Qur'an yang turun secara berangsur‐angsur kepada Rasulullah s.a.w. dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayatnya atau ayat‐ayatnya turun dalam selang waktu tertentu, dan selama itu orang membacanya dan mengkajinya surah demi surah. Ketika itu ia melihat rangkaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikan untaian mutiara yang indah yang belum pernah ada bandingannya dalam perkataan manusia: 
"Inilah suatu kitab yang ayat‐ayatnya disusun dengan rapi serta dijetaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana dan Mahatahu." (QS Hud : 1).
Seandainya Qur'an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah di dalamnya terjadi ketidakserasian dan saling bertentangan satu dengan yang lain, serta sulit terjadi keseimbangan. Ini adalah bukti terkuat bahwa Alquran adalah Kalam Allah.
Pengumpulan dan penertiban Alquran
Alquran dikumpulkan dalam hati (penghafalan) dan dikumpulkan dalam bentuk mushaf, yakni tertulis dalam susunan yang tertib baik ayat maupun suratnya. Pada sesi ini akan dipaparkan seringkas mungkin proses pengumpulan dan penertiban Alquran.
Pembaca dan penghapal Quran terbaik sudah tentu adalah Nabi Muhammad SAW, seperti dalam firman‐Nya QS Al‐Qiyamah : 17. Selama dua puluh tahun lebih Alquran turun, terkadang hanya satu ayat sehari terkadang bahkan sampai sepuluh ayat sehari. Setiap kali turun Nabi SAW dan para sahabat sangat antusias dalam membacanya, menghafal, dan mengamalkannya. Khusus masalah penghafalan, Nabi SAW secara rutin mendapat kunjungan pada bulan ramadhan untuk membacakan Alquran kepada sang Nabi SAW. menurut para sahabat ketika waktu kunjungan Jibril ini Rasulullah SAW sangat pemurah, lebih pemurah dari hari‐hari yang lain. Di masa Nabi lahirlah para qari dan hafiz, bukan sekedar karena bangsa Arab adalah masyarakat penghapal yang kuat namun lebih karena dimotivasi oleh keagungan, keindahan dan manfaat yang terkandung dalam Kalamallah ini. Walaupun bangsa Arab dulu dikenal sebagai bangsa yang ummi (buta huruf) namun jangan salah mengira kalau seluruh orang Arab buta huruf, beberapa sahabat sudah masyhur sebagai penulis yang baik, apalagi dalam masa kepemimpinan Rasulullah SAW kemampuan menulis bangsa Arab ini mengalami kemajuan yang pesat. Rasul sangat mendorong dan memfasilitasi para sahabat dan ummatnya untuk belajar tulis baca, misalnya saja dengan memberi kebijakan yang berbeda tentang tawanan perang yang memiliki kemampuan baca tulis, biasanya penebusan tawanan hanya dengan cara tukar tawanan dan dengan sejumlah uang atau harta namun Rasul membebaskan para tawanan ini dengan kewajiban mengajar baca tulis kepada beberapa orang ummatnya. Ketika Rasulullah SAW wafat ummatnya tidak lagi mengalami kekurangan orang yang ahli baca tulis.
Alat tulis dan media tulis ketika itu memang masih sulit, sehingga mereka menggunakan apapun seperti lempengan batu, tulang binatang, kulit kayu, dsb. Selain media tulis yang lazim ketika itu seperti kulit binatang atau kertas. Rasulullah SAW menunjuk beberapa sahabat sebagai sekretaris khusus untuk penulisan Quran, Nabi memberi petunjuk untuk menulis ayat yang turun dengan menyebutkan posisi oenulisannya, misalnya dengan redaksi : “Tulislah ayat ini setelah di surat...,sesudah ayat,...dan sebelum ayat....” 
Para ulama siroh beorang sahabat iasanya membagi proses pengumpulan dan penertiban Alquran ini kedalam tiga periode, yaitu :
1.       Penghafalan dan pembukuan yang pertama di masa Nabi SAW.
2.       Pengumpulan Quran pada masa Abu Bakar ra.
3.       Pengumpulan Quran pada masa Ustman ra.
Pada materi sebelumnya sudah dituturkan bahwa Quran telah dihapal oleh banyak sekali sahabat dan ditulis dalam segala media yang tersedia ketika itu mulai dari kulit, tulang, batu sampai kertas.
Pada masa khalifah Abu Bakar ini terjadi peristiwa pemberontakan besar yang dilakukan oleh beberapa daerah yang murtad terhadap Islam, suatu ketika terjadi peperangan di daerah yamamah dan melibatkan banyak para sahabat yang hapal Alquran. Ternyata dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari kalangan sahabat gugur, hal tersebut mencemaskan sahabat Umar bin Khatab ra. Ia khawatir akan musnahnya Alquran dengan cara kehilangan para penghapalnya. Oleh karena keprihatinan itulah Umar ra mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan Alquran dalam bentuk sebuah buku. Mulanya sang khalifah sempat bimbang karena hal ini tak pernah diperintahkan Rasulullah SAW secara langsung, namun akhirnya beliau menyetujuinya.
Khalifah Abu Bakar memerintahkan seorang sahabat yang memiliki kedudukan yang mulia dalam hal
Qiraat, hafalan, penulisan dan pemahamannya t erhadap Quran untuk memimpin proyek penting ini.
Langkah ini disetujui oleh semua sahabat Nabi yang hidup pada masa itu.
Kemudian tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Sabit mulai bekerja, mereka kumpulkan tulisantulisan ayat‐ayat Quran yang terpencar‐pencar dari tulang‐tulang, pelepah kurma, kepingankepingan batu dan mereka juga ambil dari para penghafal‐penghafal Quran. Kehati‐hatian Zaid sangat nyata terbukti dari bahwa Ia tidak mau menerima dari seseorang mengenai Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ada juga ulama siroh yang berpendapat bahwa Zaid hanya menerima Quran apabila orang itu memiliki catatan dan juga telah menghapal apa yang ia catat tersebut. 
Zaid bin Sabit sebenarnya adalah juga seorang penghapal tapi hal ini tidak mengurangi kehati‐hatian dan kecermatannya ia melakukan pengumpulan Quran dari semua orang yang memiliki catatan dan menghafalnya.
Pada masa ini Quran telah dikumpulkan ke dalam bentuk buku dengan tertib susunan yang diperintahkan Rasul SAW dan mencakup ketujuh huruf yang mana Quran diturunkan* pada masa Abu Bakar ra inilah lahir istilah Mushaf. Sahabat Ali ra berkata ; “Orang yang paling besar pahalannya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat‐Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan Kitab Allah.”
*hal ini akan dijelaskan nanti.
Seperti yang kita ketahui minggu lalu, Alquran dikumpulkan di masa khalifah Abu Bakar ra dalam ketujuh hurufnya * dan ternyata dimasa khalifah Usman ra hal itu menimbulkan masalah. ketika wilayah Islam semakin meluas dan jumlah pemeluk agama ini juga kian pesat, mulai banyak yang tidak memahami hakikat tujuh huruf ini dengan baik sehingga ketika guru‐guru qari mereka mengajarkan cara baca quran dengan satu dari tujuh huruf mereka menyangka cara baca itulah yang benar lalu ketika mereka menjumpai orang lain membaca Quran bukan dengan cara baca yang mereka pakai, timbul pertikaian oleh sebab cara baca yang berbeda itu.
Hal tersebut menimbulkan kecemasan dan usul yang dikemukakan secara resmi oleh sahabat Huzdaifah kepada khalifah Ustman dan para sahabat lainnya. akhirnya mereka bersepakat untuk menyalin mushaf yang ada pada Abu Bakar dengan menetapkan satu saja cara baca (qiraat). Ustman kemudian mengutus utusan kepada hafsah agar meminjamkan mushaf Abu Bakar untuk menyalin dan memperbanyaknya namun dengan perintah khusus yaitu agar menuliskan ke dalam satu cara baca saja yaitu dalam dialeg Quraisy dan membuang keenam huruf (cara baca) lainnya. Khalifah Ustman memerintahkan Zaid bin sabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk melakukannya.
Khalifah ustman memperbanyak mushaf yang disebut mushaf Ustmani tesebut dan menyebarkan ke daerah‐daerah dan memerintahkan agar semua mushaf lainnya di bakar. sehingga sejak masa ini semua mushaf dan semua Qari membaca Quran dengan bacaan satu huruf yakni dialeg atau bahasa arab suku Quraisy.
Motivasi Abu Bakar ketika hendak mengumpulkan Quran adalah kekhawatiran akan hilangnya Quran karena banyak penghapal Quran yang gugur dalam peperangan. sedangkan motivasi Ustman adalah keinginan menyatukan umat kedalam satu cara baca oleh karena semakin banyak perbedaan cara baca dan pertikaian karenanya. Kalau Abu Bakar memindahkan tulisan Alquran yang bertebaran di berbagai media ke dalam satu buku lengkap dengan ketujuh hurufnya, maka Ustman menyalin kedalam satu mushaf dengan memisahkan keenam huruf lainnya.
* akan dijelaskan pada bab tersendiri. 
Sebelum kita lanjut lebih jauh dalam sejarah kodifikasi kitab suci Alquran, sejenak kita berhenti untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan Tujuh huruf. Apakah yang dimaksud dengan “Alquran turun dengan tujuh huruf.?”
Nas‐nas sunah cukup banyak mengemukakan hadits mengenai turunnya Quran dengan tujuh huruf, kami sajikan tiga diantarannya :
Dari ibn Abbas, ia berkata ; “Rasulullah berkata; ‘Jibril membacakan (Quran) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf ’ ”
Dari Ubai bin Ka’b; “Ketika Nabi berada di dekat parit bani gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan ; ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf’ Ia menjawab; ‘Aku memohonkepada Allah ampunan dan magfirah‐Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.’ Nabi menjawab: ‘Aku memohon ampunan dan magfirah‐Nya umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinnya, lalu mengatakan: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf. ’ Nabi menjawab ‘Aku memohon ampunan dan magfirah‐Nya sebab umatku tidak dapat melaksanakannya.’ ’ Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca , mereka tetap benar.’”
Dari Umar bin Khattab, ia berkata ; “”Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al‐Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba‐tiba ia membacannya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik selendangnya dan bertanya : ‘Siapakah yang membacakan (mengajarkan membaca) surah itu kepadamu?‘ ia menjawab ; ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku’ lalu aku katakan kepadanya: ‘Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang aku dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).’ Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa ‘Aku telah mendengar orang ini membaca surah al‐Furqan dengan huruf‐huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al‐Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Lepaskan dia wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam!’ Hisyampun kemudia membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah : ‘Begitulah surah itu diturunkan.’ Ia berkata lagi: ‘Bacalah, wahai Umar!’ Lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasululah kepadaku. Maka kata Rasullulah: begitulah surat itu diturunkan.’ Dan katanya lagi: Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantarannya. ”
Ada banyak pendapat tentang arti tujuh huruf ini. pendapat yang masyhur dan terkuat adalah bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa‐bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. misalnya kata 'aqbil', 'ta'ala', 'halumma', ''ajal', dan 'asra'' lafaz‐lafaz yang berbeda ini digunakan untk menunjukkan satu makna yaitu ; perintah untuk menghadap.

Alquran bukannya turun sebanyak tujuh kali dengan tujuh bahasa atau dialeg‐dialeg tapi jika bahasa mereka berbeda‐beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Quran pun diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. namun jika tidak terdapat perbedaan, maka Quran hanya mendatangkan satu lafaz saja.
Ada pendapat bahwa yang dimaksud dengan kata tujuh dalam istilah "tujuh huruf" bukannya tujuh seperti bilangan. tapi ini adalah kebiasaan orang arab apabila menyebut jumlah yang sangat banyak mereka menyebut kata tujuh. jadi menurut pendapat ini alquran turun bukan secara persis tujuh bahasa atau dialeg atau ragam pengucapan dalam menyebut satu arti, tapi lebih dari tujuh. dan pendapat ini bisa benar mengingat bahwa dialeg atau variasi dari bahasa Arab memang lebih dari tujuh. 
Hikmah turunnya Quran dengan tujuh huruf.
Turunya Quran dengan tujuh huruf ini mengandung hikmah yang banyak, beberapa yang terpenting adalah sebagai berikut :
Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya (suku) mempunyai dialeg masing‐masing. 
Sebagai suatu mukzizat, Allah pernah menantang orang kafir arab untuk membuat ayat yang serupa dengan Quran. Dengan diturunkannya dengan dialeg mereka masing‐masing, toh mereka tetap tak pernah bisa membuat ayat yang serupa dengan Quran, padahal suku‐suku tersebut sangat akrab dengan bahasa dan dialeg khas mereka sendiri.
Quran turun dengan tujuh huruf yang masing‐masing huruf atau dialeg tersebut ternyata mengandung tambahan makna yang memperluas peluang penafsiran dan istinbath hukum. Oleh karena itulah ulama‐ulama fiqh juga berhujjah dengan cara baca quran yang berbeda‐beda tersebut.
Bagi orang yang tidak memahami secara baik bahasa Arab dan sastranya maka keberadaan tujuh huruf ini tidak akan terasa luar biasa. Namun bagi mereka yang memahaminya hakekat tujuh huruf ini merupakan faktor yang besar dan dapat mereka rasakan dalam interaksinya dengan Alquran Alkariim.
Tertib ayat dan surah 
Pada sesi‐sesi sebelumnya kita telahmembahas sejarah pengumpulan dan penertiban Al Quran, kemudian pembahasan tema itu agak terhenti sejenak karena kita ingin memahami apa yang dimaksud dengan istilah “tujuh huruf”. Sekarang kita ingin melanjutkan tema sejarah pengumpulan dan penertiban Al Quran. Yakni pada masalah tertib ayat dan surah Al Quran.
Quran terdiri dari surat‐surat dan ayat‐ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dalam Al Quran. Surah adalah sejumlah ayat Quran yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Tertib atau urutan ayat‐ayat Quran ini adlah tauqifi atau Ketentuan dari Rasulullah SAW. Tepat seperti pernyataan dari para Ulama besar misalnya Az Zarkasyi dalam Al Burhan dan Abu Ja’far ibnuz Zubair dalam Munasabahnya, dimana ia mengatakan ; “tertib ayat‐ayat di dalam surah‐surah itu berdasarkan tauqifi dari Rsulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan oleh kaum muslimin. ” As‐Suyuti telah memastikan hal itu, ia berkata “Ijma’dan nas‐nas yang serupa menegaskan, tertib ayat‐ayat itu adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukan kepadanya tempat dimana ayatayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat‐ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasullullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka ; “Letakkan ayat‐ayat ini pada surah yang didalamnya disebut begini dan begini.” Atau “Letakkan ayat ini ditempat anu.” 
Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Quran yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib ayat dikenal sekarang ini. 
Minggu depan kita masuk dalam pembahasan tentang pembagian surat‐surat dalam Quran.
Pembagian surat‐surat dan ayat‐ayat Quran
Surah dalam Alquran dibagi menjadi empat bagian , yakni ; at‐Tiwal, al‐Miún, al‐Masani, al‐mufassal. Ad.1 at‐Tiwal 
Kelompok ini ada tujuh surat, yaitu : Al‐Baqarah, Ali‐Imran, An‐Nisa’, Al‐Maidah, Al‐Anám, Al‐A’raf, sedangkan yang ketujuh terdapat perbedaan pendapat, ada yang berpendapat yang ketujuh adalahh Al‐Anfal dan Baraáh sekaligus. Ada yang berpendapat surat Yunus lah yang ketujuh.
Ad.2 Al‐Miun 
Yaitu kelompok surat yang jumlah ayatnya berrhjumlah lebih dari seratus, atau sekitar itu.
Ad.3 Al‐Masani
Yaitu kelompok surah yang ayat‐ayatnya berjumlah di bawah Al‐Miun. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang‐ulang bacaannya lebih banyak dari At‐Tiwal dan Al‐Miun’. Ad.4 Al‐Mufassal
terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan dimulai dari surah Hujurat, ada yang mengatakan dari surat yang lain. Mufassal dibagi menjadi tiga: Tiwal, Ausat, dan qisar. Mufassal tiwal dimulai dari surat Qaf atau Hujurat sampai dengan Ámma atau Al‐Buruj sampai dengan ,Amma atau Buruj.
Mufassal ausat dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan Quran terakgir. Dinamakan
Mufassal karena banyaknya fasl (Pemisahan) diantara surah‐surah tersebut dengan basmallah.
Ada 114 surah dalam Alquran, ada yang mengatakan 113 surah karena mereka menghitung surah Al‐
Anfal dan Baraáh menjadi satu surat saja (mereka menghitungnya sebagai satu surat karena surat Baraáh – yang tanpa Bismillah‐ itu sebagai surat Al‐Anfal). Jumlah ayat Quran ada 6.200 lebih, kelebihan ini masih diperselisihkan. Ayat terpanjang adalah tentang hutang‐piutang. Sedangkan surah terpanjang adalah Al‐Baqarah. Pembagian seperti ini mempermudah orang untuk menghafal dan mengkajinya.
Perkembangan mushaf
Pada awalnya Quran ditulis dengan huruf arab tanpa tanda baca titik dan syakal, orang‐orang Arab pada zaman itu sama sekali tidak membtuhkan alat bantu tersebut. namun seiring waktu bahasa arab mulai bersentuhan dengan bahasa‐bahasa lainnya, sisi negatifnya bahasa arab mulai terdistorsi. para penguasa mulai merasakan pentingnya alat bantu pada penulisan Quran berupa syakal, titik, dsb yang akan membantu pembacaan yang benar. hal ini sangat dibutuhkan terutama bagi orang muslim non Arab.
Orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abul Aswad ad‐Duali atas permintaan Ali bin Abi Talib. tahap pertama hasilnya adalah tanda fathah berupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah huruf, tanda dhammah berupa satu titik di sela‐sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik. tanda baca ini terus disempurnakan sampai finalnya berupa tanda baca yang kita temui dalam mushaf sekarang ini. 
Pada mulanya banyak tokoh yang tidak setuju adanya elemen‐elemen itu dalam Mushaf, menurut mereka penulisan alat‐alat bantu itu menodai kemurnian Alquran. namun secara perlahan semua tokoh menyadari kegunaannya sehingga bahkan hukumnya berubah dari boleh menjadi dianjurkan.
Adab membaca Quran 
Dianjurkan bagi orang yang membaca Quran memperhatikan hal‐hal berikut :
       Membaca Quran sesudah berwudlu, karena ia termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi orang yang berhadas.
       Membacanya hanya ditempat yang bersih dan suci, untuk menjaga keagungannya.
       Membacanya dengan khusyuk, tenang, dan penuh hormat.
       Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca.
       Membaca taáwwuz (audzu billahi minasysyaitanir rajim) pada permulaannya, berdasarkan firman Allah QS An‐Nahl ; 98. Bahkan sebagian ulama mewajibkannya.
       Membaca basmalah pada permulaan setiap surah, kecuali surah Al‐Baraáh.
       Membacanya dengan tartil yaitu dengan pelan dan terang serta memberikan setiap huruf haknya (betul makhrajul hurf dan tajwidnya), seperti panjangnya, idgamnya, dsb.
       Memikirkan ayat‐ayat yang dibacanya.
       Meresapi makna dan maksud ayat‐ayat Quran yang berhubungan dengan janji dan ancaman.
       Membaguskan suara dan mengengeraskan bacaan. Bab mengajarkan Quran dan menerima upah atasnya.
mengajarkan Quran adalah fardu kifayah, dan menghafalnya merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam agar tidak terputus penjagaan kemurnian Alquran.
dalam sebuah hadits riwayat Ustman dinyatakan keutamaan belajar dan mengajarkan Quran ;
"Sebaik‐baiknya kamu adalah orang yang belajar Quran dan mengajarkannya."
Cara mempelajari Quran yang paling ideal adalah dengan menghafalnya ayat demi ayat. sesuai dengan hadits dari Abu 'Aliyah ; "Pelajari Alquran lima ayat‐lima ayat, karena Nabi mengambilnya dari Jibril a.s. lima ayat‐lima ayat" 
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya menerima upah mengajar Quran. berikut adalah dalil‐dalil bagi pendapat yang membolehkannya :
Dua buah hadits ; "Pekerjaan yang paling berhak kamu ambil upahnya ialah (mengajarkan) kitab Allah.", "Aku nikahkan engkau kepadanya dengan (mas kawin) Quran yang ada padamu."
sebagian ulama membagi type pengajaran Quran menjadi tiga ; pertama, pengajaran yang karena Allah semata dan tidak mengambil upah. kedua, pengajaran dengan memungut upah. dan ketiga, pengajaran tanpa syarat, namun bila diberi hadiah, maka diterimanya. type pertama yang paling ideal, type kedua diperselisihkan ada yang berpendapatboleh, ada yang melarangnya, type ketiga semua membolehkannya.
Tentang Qiraat Quran
Qiraat artinya bacaan (jamaknya). menurut istilah Qiraat adalah salah satu mahzab atau aliran dalam hal pengucapan dan pembacaan Aquran yang dipilih oleh seorang imam qurra' sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Secara sederhana Qiraat adalah sekumpulan cara baca Quran, irama baca, dsb dan itu semua ditetapkan berdasarkan sanad‐sanadnya sampai ke Rasulullah. Diantara sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat ialah ; Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas'ud, Abu Musa al‐Asy'ari dll. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabiin di berbagai negri belajar qiraat. Mereka itu semuannya bersandar kepada Rasulullah SAW.
Sebetulnya Imam atau guru Qiraat itu jumlahnya, banyak hanya sekarang yang populer adalah tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. sebagian ulama membagi qiraat menjadi enam macam :
1.       mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta , dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah Saw.
2.       Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasam Ustmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. qiraat macam ini dapat digunakan.
3.       Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam Ustmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal. Qiraat macam ini tidak dapat diamalkan bacaanya.
4.       Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya.
5.       Ma'udu, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6.       Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran (penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat Quran)
Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. 
Tentang tasfir Alquran
At‐Tafsir berasal dari akar kata fasara yang artinya ; menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. sedangkan tafsir menurut istilah, seperti yang diungkapkan oleh Az‐Zarkasyi ; "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, menjelaskan maknamaknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya."
Tafsir adalah ilmu keagamaan yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya. bagaimana tidak, ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek bahasannya dan paling mulia tujuannya. obyek pembahasannya adalah Kalamullah yang adalah sumber segala kebaikan, hikmah dan keutamaan. Tujuan utamanya sangat mulia yaitu mengungkap makna, mengurai dan menjabarkan serta menjelaskan tentang syariat.
Kegiatan ilmu tafsir yakni merenungkan kalam Ilahi dan menarik keluar hikmah‐hikmah, maknamaknanya baik yang tampak dipermukaan maupun yang tersembunyi di kedalaman. kualitas penafsiran sangat bergantung dari keiklhasan dan kemampuan sang penafsir. oleh karenanya ada beberapa syarat dan adab yang harus dipenuhi atau dimiliki sang mufasir :
       Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh bagi jiwa dan hasil pemikiran sangat bergantung pada jiwa. sang penafsir mutlak harus memiliki akidah yang lurus sehingga menjamin kelurusan penafsirannya juga.
       Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu dapat mendorong pemiliknya untuk secara membabi buta membela kepentingan diri sendiri dan atau golongannya. penafsiran harus bebas dari kefanatikan buta terhadap mazhab, ras, dsb.
       Harus menafsirkan terlebih dahulu Quran dengan Quran. karena satu ayat dalam Quran terkadang masih diperinci di ayat yang lainnya.
       Mencari penafsiran dari sunnah. apabila tidak ditemukan perinciannya dari Quran maka sang penafsir harus terlebih dulu mencari petunjuk dari Nabi SAW melalui hadits‐haditsnya.
       Apabila tidak didapatinya petunjuk dari sunnah hendaklah sang penafsir meninjau pendapat para sahabat dalam atsar‐atsarnya.
       Setelah memang belum juga didapati maka hendaklah sang penafsir mencarinya pada pendapat‐pendapat para tabi'in (generasi setelah sahabat) yakni murid‐murid dari para sahabat.
       seorang mufasir diwajibkan memiliki pengetahuan tentang bahasa arab yang sempurna. karena Quran turun dalam bahasa Arab maka hanya yang memahami bahasa Arablah yang mampu mengupasnya secara mendalam.
       Seorang mufasir harus memiliki pegetahuan yang bagus tentang ilmu‐ilmu yang terkait dengan Quran seperti ulumul Quran, Qiraat Quran, dsb.
       Sang penafsir selain harus cerdas juga dituntut untuk cermat sehingga dapat mengukuhkan suatu makna atas makna yang lain dan dapat menarik kesimpulan yang selaras dengan nasnas syariat. 
Sebelumnya kita telah paparkan syarat‐syarat yang harus terdapat pada seorang mufasir, kini akan disampaikan adab‐adab yang harus dimiliki oleh seorang mufasir :
       Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. seorang mufasir harus membersihkan dirinya dari tujuan‐tujuan duniawi sehingga keikhlsannya dapat menghasilkan karya yang bermanfaat.
       Berakhlak baik, karena seorang mufasir itu adalah pendidik. sangat penting bagi siswa untuk melihat teladan yang baik. agar manfaat dari karya tafsirnya dapat mereka petik dengan sebesar‐besarnya.
       Taat dan beramal. karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalahmasalah agama yang ditetapkannya 
       Berlaku jujur dan telilti dalam penukilan, shingga mufasir tidak bicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
       Tawadu' dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
       Berjiwa mulia, seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal‐hal yang remeh serta tidak mendekati dan meminta‐minta kepada penguasa.
       Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim.
       Berpenampilan baik, yang dapat menjadikan mufasir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan.
       Bersikap tenang dan mantap, Mufasir hendaknya tidak tergesa‐gesa dalam bicara, tapi henndaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas kata demi kata.
       Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya, seorang mufasir harus hati‐hati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya.
       Mempersiapkan dan menempuh langkah‐langkah penafsiran secara baik. seperti memulai dengan menyebut asbabunnuzulnya, arti kosa katanya, menerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi balaghoh dan i'rabnya, kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan realitas zamannya, kemudian baru mengambil kesimpulan dan hukum.
Kelompok Mufasir.
Kita dapat mengelompokkan mufasir menjadi beberapa kelompok berikut :
       Mufasir dari kalangan sahabat, diantara para sahabat yang paling terkenal adalah ; empat khalifah, Ibn Masúd, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al‐Asyári, Abdullah bin Az‐Zubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Jabir dan Abdullah bin Ámr bin Ás. Diantara keempat khalifah yang paling banyak diriwayatkan tafsirnya adalah Ali bin Abi Thalib ra.
       Mufasir dari kalangan Tabiin (generasi setelah sahabat), Ibn Taimiyah menjelaskan, orang yang paling mengetahui tentang tafsir adalah penduduk Makkah karena mereka adalah murid‐murid Ibn Abbas, seperti Mujahid, Átâ bin Abi Rabbah, Íkrimah, Saíd bin Jubair, Tawus, dsb. Di Kufah adalah murid‐murid Ibn Masúd dan di Madinah adalah Zaid bin Aslam, pada umumnya pendapat mereka diterima dari sahabat.
       Kemudian lahirlah generasi berikutnya, sebagian besar mereka berusaha menyusun kitabkitab tafsir yang menghimpun pendapat‐pendapat para sahabat dan tabiin, seperti Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin Al‐Jarrah, Syu’bah bin Al‐Hajajj, Yazid bin Harun, Abdurrazzaq, Adam bin Abi Iyas, Ishaq bin Rahawaih, Abd bin Humaid, dsb.
       Sesudah generasi ini muncullah angkatan berikutnya diantaranya adalah Ali bin Abi Talhah, Ibn Jarir At‐Thabari, Ibn Abi Hatim, Ibn Majah, Al‐Hakim, Ibn Madawaih, Abusy‐Syaikh bin Hibban, dll. Tafsir mereka memuat riwayat‐riwayatyang disandarkan kepada para sahabat, tabiín, dan tabiít tabiín. Semuanya sama kecuali yang disusun oleh Ibn Jarir At‐Thabari, dimana ia mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan (menguatkan pendapat) salah satu atas yang lainnya, serta menerangkan i’rab dan istinbat (penyimpulan hukum). Karena itu tafsir ini lebih unggul dari yang lainnya.
       Generasi berikutnya menyusun kitab‐kitab tafsir yang dipenuhi oleh keterangan‐keterangan berguna yang dinukil dari para pendahulunya. pola demikian terus berlangsung. pada masa ini sudah mulai lahir tafsir yang bercorak sastra sosial yang tidak menyebutkan sanad‐sanad, ditambah sedikit pendapat para penulisnya. misalnya karya Abu Ishaq Az‐Zujaj, Abu Ali alFarisi, Abu Bakar an‐Naqqasy, Abu Jahar an‐Nahhas dan Abul Abbas al‐mahdawi.
       Kemudian golongan mutaakhirin menulis kitab tafsir‐kitab tafsir yang meringkas sanadsanad riwayat dan mengutip pendapat‐pendapat secara terputus, karena itu masuklah ke dalam tafsir sesuatu yang asing dan riwayat yang sahih bercampur dengan yang tidak sahih. 
       selanjutnya , setiap mufasir memasukkan begitu saja ke dalam tafsir pendapat‐pendapat yang diterima dan apa saja yang terlintas dalam pikiran yang dipercayainya. kemudian generasi sesudahnya mengutip begitu saja tanpa menyaring lagi. sampai‐sampai Imam Suyuti berkata bahwa penafsiran ayat Allah ghairil maghdubi alaihim waladholiin ada 10 macam padahal penafsiran dari Nabi, sahabat dan tabiin hanya satu yaitu ; "Orang yahudi dan Nasrani."
       Kemudian masuk suatu masa yang dapat dicirikan dari pengkhususan penafsiran pada satu disipin ilmu yang dikuasai sang penafsir. misalnya ahli nahu (tata bahasa) hanya menulis tentang nahu ahli fikih melulu menulis tentang fiqh, dsb.
       Kemudian datanglah masa modern, pada masa ini mufasir menempuh langkah dan pola baru. pada masa ini para penafsir mulai memperhatikan aspek kelembutan uslub, keindahan ungkapan dan penekanan aspek sosial dan pemikiran kontemporer, lahirlah fafsir yang bercorak sastra sosial seperti Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Rida, Muhammad Mustafa al‐Maragi, Sayid Qutub dan Muhammad 'Izzah Darwazah. 
Tafsir bil‐Ma’sur dan tafsir bil‐Raýi.
Karakter tafsir Al‐Quran dapat dikelompokkan kedalam dua besar yakni ; Tafsir bil‐Ma’sur dan tafsir bil‐Raýi. 
Tafsir bil‐ma’sur.
Ialah penafsiran berdasarkan pada kutipan‐kutipan yang sahih menurut urutan pengambilan pendapat seperti yang telah dijelaskan minggu lalu, yakni menafsirkan Quran dengan Quran, kemudian Quran dengan Sunah, lalu perkataan para sahabat, tabiin, tabiit tabiin. Sang penafsir harus melihat dan menyampaikan penafsiran para pendahulu mereka. Ia tidak diperkenankan melakukan ijtihad untuk menjelaskan suatu makna ayat tanpa ada dasarnya. Dengan cara seperti ini tentu perbedaan pendapat diantara para penafsir bil‐ma’sur sangat sedikit jumlahnya dibanding dengan mereka yang menggunakan prinsip bil‐raýi. Tafsir bil‐ma’sur adalah tafsir yang harus diikuti dan menjadi pedoman utama karena ia adalah penafsiran yang sangat aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan.
Tafsir bil‐raýi.
Ialah penafsiran yang menggunakan pemikiran sendiri. Sang penafsir merenungi suatu ayat dan mencari makna yang dapat ditangkapnya dengan ilmu yang dikuasainya, ia menggali sedalam mungkin suatu ayat dan memaparkan tafsir berdasarkan eksplorasinya tadi. Penafsiran dengan cara ini dapat dibagi menjadi dua ; yakni yang semata hanya menggunakan akal saja tanpa ada dasar misalnya kaidah‐kaidah bahasa, prinsip‐prinsip syarak (hukum Islam), dan lain sebagainya. Dan Penafsiran yang mempertimbangkan prinsip‐prinsip hukum Islam secara menyeluruh dan aspekaspek keilmuan yang terus berkembang sehingga dapat dilahirkan pengertian yang baru dan kontekstual dengan ayat‐ayat Quran. Yang pertama (yang hanya menggunakan akal semata) tentu dilarang sedangkan yang kedua diperbolehkan.
Kitab‐kitab tafsir yang tergolong dalam Tafsir bi al‐Ma'sur antara lain adalah Jami'al‐Bayan fi Tafsir
Al‐Qur'an oleh Imam at‐Tabari, Bahr al‐'Ulum (Samudera Ilmu) oleh Nasr bin Muhammad asSamarqandi, al‐Kasyf wa al‐Bayan 'an Tafsir Al‐Qur'an (Penyingkap Tabir dan Penjelasan Tafsir Al‐
Qur'an) oleh Abu Ishaq as‐Sa'labi, Ma'alim at‐Tan‐zil (Khazanah Ilmu tentang Wahyu) oleh
Muhammad al‐Husain al‐Bagawi, al‐Muharrir al‐Wajiz fi Tafsir al‐Kitab al‐'Aziz (Ungkapan‐Ungkapan
Singkat tentang Kitab yang Mulia) oleh Abu Muham‐mad al‐Andalusi, Tafsir Al‐Qur'an al‐'Azim (Tafsir
Al‐Qur'an yang Mulia) oleh Ibnu Kasir, al‐Jawahir al‐Hisanfi Tafsir Al‐Qur'an (Permata‐Permata
Kebaikan dalam Tafsir Berdasarkan Riwayat) oleh Abu Zaid as‐Sa'alibi, dan ad‐Durr al‐Mansur fi atTafslrbi al‐Ma'sur oleh Jalaluddin as‐Suyuti.
Adapun kitab‐kitab tafsir yang termasuk dalam Tafsir bi ar‐Ra'yi antara lain adalah al‐Bahr al‐Muhit
(Samudera yang Dalam) oleh Muhammad al‐Andalusi, Gara'ib Al‐Qur'an wa Raga'ib al‐Furqan oleh Nizamuddin an‐Naisabur, dan Ruh al‐Ma'ani fi Tafsir Al‐Qur'an al‐'Azim wa as‐Sab' al‐Masani
(Semangat‐Semangat Makna dalam Tafsir Al‐Qur'an dan Surah al‐Fatihah) oleh Allamah al‐Alusi.
Menyentuh Mushaf Al‐Qur'an. 
Para ulama sepakat bahwa kebolehan me‐nyentuh mushaf Al‐Qur'an hanya ditujukan kepada orangorang/hamba‐hamba yang disucikan saja, sedangkan hamba‐hamba yang tidak disucikan tidak diperbolehkan. Hal ini didasarkan atas keterangan Al‐Qur'an surah al‐Waqi'ah ayat 77‐80 yang arti‐nya: "Sesungguhnya Al‐Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara
(Lauh Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali orang‐orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan Semesta Alam."
Kata al‐mutahharun dalam ayat 79 di atas mengandung beberapa pengertian. Dalam hal ini, tidak ada penegasan dari Al‐Qur'an tentang apa yang dimaksud dengan kata itu. Dari sini timbul perbedaan penafsiran dan pemahaman para ulama, baik dari kalangan ulama tafsir maupun ulama fikih.
Syekh Abu Ah' al‐Fadl bin Hasan at‐Tabarsi, seorang ulama tafsir abad ke‐6 H, dalam kitabnya Majma' al‐Bayan fi Tafsir Al‐Qur'an menafsirkan bahwa kata al‐mutahharun itu mengandung tiga makna, yaitu para malaikat, orang‐orang/hamba‐hamba yang suci dari syirik, dan orang‐orang yang suci dari Hadas dan junub. Muhammad Ali as‐Sabuni, guru besar tafsir di Universitas King Abdul Aziz (Mekah), menyatakan dalam kitabnya Shafwat at‐Tafasir bahwa kata al‐mutahharun berarti para malaikat yang dinyatakan oleh Allah SWT sebagai hamba‐hamba yang suci dari syirik, dosa, dan hadas atau orang‐orang/hamba‐hamba yang berwudu.
Hadis Rasulullah SAW juga tidak menegaskan dan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata al‐mutahharun itu. Dalam hadis hanya ditemukan kata tahirun, seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh ad‐Darimi dan Imam Malik dari Amr bin Hazm; "Nabi SAW menulis, tidak menyentuh Al‐Qur'an kecuali orang yang suci."

Penggunaan kata tahirun yang bersifat umum dalam hadis juga mengundang perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Jumhur (mayoritas) ulama fikih, termasuk Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Syafi'i, berpendapat bahwa yang di‐maksud dengan tahirun dalam hadis itu adalah orang yang berwudu. Karena itu, mereka berpendirian bahwa yang diperbolehkan menyentuh mus‐haf AlQur'an hanyalah orang‐orang yang berwudu. Menurut mereka, wudu merupakan syarat untuk memegang mushaf. Adapun ulama yang lain, seperti ulama Mazhab Zahiri, menolak pendirian ulama di atas dan mengatakan bahwa wudu tidak merupakan syarat untuk menyentuh mushaf Al‐Qur'an; orang yang tidak berwudu boleh menyentuh mushaf. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

.

Rasulullah s.a.w bersabda :

” Sesungguhnya seorang hamba yang bercakap sesuatu kalimah atau ayat tanpa mengetahui implikasi dan hukum percakapannya, maka kalimah itu boleh mencampakkannya di dalam Neraka lebih sejauh antara timur dan barat” ( Riwayat Al-Bukhari, bab Hifdz al-Lisan, 11/256 , no 2988)